Selasa, 29 Juli 2008

Holong di tingki marhallet

Holong di tingki marhallet…


Sudah bukan rahasia lagi jika seorang laki-laki sedang menjalin cinta dengan seorang perempuan, maka segala sesuatu yang dilakukan, diucapkan dan difikirkan, penuh kelemahlembutan, romantika dan pengorbanan. Itulah hebatnya seorang laki-laki, hingga pada tingkat tertentu, mau melakukan apa saja permintaan sang kekasih, diminta atau tidak. Takut kehilangan pamor, takut ditinggal, takut dan takut…
Semuanya itu sepertinya hanya bertahan hingga beberapa saat setelah melangkah ke tangga pernikahan. Kalau sebelum menikah si lelaki memposisikan diri sebagai pengawal, pengaman, bahkan pembantu, lain lagi jika sudah menikah. Perubahan, entah secara drastis atau lambat laun, seiring waktu, maka posisinya semakin bergeser.
Pacar belum ke sandung batu saja, sudah sontak bilang “hati-hati, sayang! Awas, ada batu kecil didekat kakimu!” Kalau sudah jadi istri, menanggapi kejadian yang sama yang terucap sama sekali lain dari yang dulu dikeluarkan dari mulut yang sama. “Kemana matamu kau taruh?” Itu bentakan si suami ketika istri tersandung batu besar. Menahan rasa sakit dan ketakutan sekaligus. Itu berlangsung seringkali, bahkan setiap hari. Ini, sebenarnya tidak lucu…
Tetapi coba simak, pembicaraan dua orang sejoli ini, jika dibaca dari atas (masa pacaran), semuanya terlihat indah. Sebaliknya, ketika kita baca dari bawah ke atas (masa setelah menikah), maka semuanya terlihat menyebalkan.
On ma panghataion ni dua halak jolma, boru dohot baoa di tingki nasida marhamlet :

Baoa : Onma! Nunga apala leleng diparsinta rohangku tingki si songon on.
Borua : Lomo do roham molo hutadinghon ho?
Baoa : Unang! Unang hea tubu di roham si songoni.
Borua : Holong do roham tu ahu?
Baoa : Olo! Songoni do au, sahat tu ujung ni ngolunghu.
Borua : Hea do ho mardua roha tu boru-boru na asing?
Baoa : Daong! Ndang hea ahu mangulahon na so tama sisongoni.
Borua : Olo do ho mangumma ahu?
Baoa : Olo hasian
Borua : Hasian….

Tidak ada komentar: