Sabtu, 19 Juli 2008

Generasi berkat

Tips Pacaran Pemuda-Pemudi Kristen*

Tidak heran bahwa untuk mencapai tujuan yang agung, orang-orang Kristen
bergaul dan berpacaran secara berbeda dengan orang-orang non-Kristen.
Pacaran bagi orang Kristen ditandai dengan:

*1. Proses Peralihan dari "Subjective Love" ke "Objective Love."
*
"Subjective love" sebenarnya tidak berbeda daripada manipulative love yaitu
"kasih dan pemberian yang diberikan untuk memanipulir orang yang menerima".
Pemberian yang dipaksakan sesuai dengan kemauan dan tugas dari si pemberi
dan tidak memperhitungkan akan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh si
penerima. Sesuai dengan "sinful nature"nya setiap anak kecil telah belajar
mengembangkan "subjective love". Dan "subjective love" ini tidak dapat
menjadi dasar pernikahan. Pacaran adalah saat yang tepat untuk mematikan
sinful nature tsb, dan mengubah kecenderungan "subjective love" menjadi
"objective love". Yaitu memberi sesuai dengan apa yang baik yang betul-betul
dibutuhkan si penerima.

*2. Proses Peralihan dari "Envious Love" ke "Jealous Love."*

"Envious" sering diterjemahkan sama dengan "jealous" yaitu cemburu. Padahal
"envious" mempunyai pengertian yang berbeda. "Envious" adalah kecemburuan
yang negatif yang ingin mengambil dan merebut apa yang tidak menjadi haknya.
Sedangkan "jealous" adalah kecemburuan yang positif yang menuntut apa yang
memang menjadi hak dan miliknya. Tidak heran, kalau Alkitab sering
menyaksikan Allah sebagai Allah yang "jealous", yang cemburu (misal: 20:5).
Israel milik-Nya umat tebusan-Nya. Kalau Israel menyembah berhala atau lebih
mempercayai bangsa-bangsa kafir sebagai pelindungnya, Allah cemburu dan akan
merebut Israel kembali kepada-Nya.

Begitu pula dengan pergaulan pemuda-pemudi. Pacaran muda-mudi Kristen harus
ditandai dengan "jealous love". Mereka tidak boleh menuntut "sesuatu" yang
bukan atau belum menjadi haknya (seperti: hubungan seksuil, wewenang
mengatur kehidupannya, dsb). Tetapi mereka harus menuntut apa yang memang
menjadi haknya, seperti kesempatan untuk dialog, pelayanan ibadah pada Allah
dalam Tuhan Yesus, dsb.

*3. Proses Peralihan dari "Romantic Love" ke "Real Love."*

"Romantic love" adalah kasih yang tidak realistis, kasih dalam alam mimpi
yang didasarkan pada pengertian yang keliru bahwa "kehidupan ini manis
semata-mata". Muda-mudi yang berpacaran biasanya terjerat pada "romantic
love". Mereka semata-mata menikmati hidup sepuas-puasnya tanpa coba
mempertanyakan realitanya, misal:

* apakah kata-kata dan janji-janjinya dapat dipercaya?
* apakah dia memang orang yang begitu sabar, "caring", penuh tanggung
jawab seperti yang selama ini ditampilkan?
* apakah realita hidup akan seperti ini terus (penuh cumbu-rayu,
rekreasi, jalan-jalan, cari hiburan)?

Pacaran adalah persiapan pernikahan, oleh karena itu pacaran Kristen tidak
mengenal "dimabuk cinta". Pacaran Kristen boleh dinikmati tetapi harus
berpegang pada hal-hal yang realistis.

*4. Proses Peralihan dari "Activity Center" ke "Dialog Center."*

Pacaran dari orang-orang non-Kristen hampir selalu "activity- center". Isi
dan pusat dari pacaran tidak lain daripada aktivitas (nonton, jalan-jalan,
duduk berdampingan, cari tempat rekreasi, dsb.), sehingga pacaran 10 tahun
pun tetap merupakan 2 pribadi yang saling tidak mengenal. Sedangkan pacaran
orang-orang Kristen berbeda. Sekali lagi orang-orang Kristen juga boleh
berekreasi dsb, tetapi "center"nya (isi dan pusatnya) bukan pada rekreasi
itu sendiri, tapi pada dialog yaitu interaksi antara dua pribadi secara utuh
(Martin Buber, "I and Thou", by Walter Kauffmann, Charles Scribner's Sons,
NY: 1970), sehingga hasilnya suatu pengenalan yang benar dan mendalam.

*5. Proses Peralihan dari "Sexual Oriented" ke "Personal Oriented."*

Pacaran orang Kristen bukanlah saat untuk melatih dan melampiaskan kebutuhan
seksuil. Orientasi dari kedua insan tsb, bukanlah pada hal-hal seksuil, tapi
sekali lagi (seperti telah disebutkan dalam no. 4) pada pengenalan pribadi
yang mendalam.

Jadi, masa pacaran tidak lain daripada masa persiapan pernikahan. Oleh
karena itu pengenalan pribadi yang mendalam adalah "keharusan". Melalui
dialog, kita akan mengenal beberapa hal yang sangat primer sebagai dasar
pertimbangan apakah pacaran akan diteruskan atau putus sampai disini.

*Beberapa hal yang primer tsb, antara lain:
*
*a. Imannya.*

Apakah sebagai orang Kristen dia betul-betul sudah dilahirkan kembali (Yoh
3:3), mempunyai rasa takut akan Tuhan (Amsal 1:7) lebih daripada
ketakutannya pada manusia, sehingga di tempat- tempat yang tersembunyi dari
mata manusia sekalipun ia tetap takut berbuat dosa. Apakah ia mempunyai
kehausan akan kebenaran Allah dan menjunjung tinggi hal-hal rohani?

*b. Kematangan Pribadinya.
*
Apakah ia dapat menyelesaikan konflik-konflik dalam hidupnya dengan cara
yang baik? Dapat bergaul dan menghormati orang-orang tua? Apakah ia
menghargai pendapat orang lain?

*c. Temperamennya.
*
Apakah ia dapat menerima dan memberi kasih secara sehat? Dapat menempatkan
diri dalam lingkungan yang baru bahkan sanggup membina komunikasi dengan
mereka? Apakah emosinya cukup stabil?

*d. Tanggung-jawabnya.*

Apakah dia secara konsisten dapat menunjukkan tanggung-jawabnya, baik dalam
studi, pekerjaan, uang, seks, dsb.?

Kegagalan dialog akan menutup kemungkinan mengenali hal-hal yang primer di
atas. Dan pacaran 10 tahun sekalipun belum mempersiapkan mereka memasuki
phase pernikahan.

Kegagalan dalam dialog biasanya ditandai dengan pemikiran- pemikiran:

1. Saya takut bertengkar dengan dia, takut menanyakan hal-hal yang dia
tidak sukai.
2. Setiap kali bertemu kami selalu mencari acara keluar ... atau kami
ingin selalu bercumbuan saja.
3. Saya rasa "dia akan meninggalkan saya" kalau saya menuntut kebenaran
yang saya yakini. Saya takut ditinggalkan.
4. Saya tidak keberatan atas kebiasaannya, wataknya bahkan jalan
pikirannya asalkan dia tetap mencintai saya, dsb.

*God bless…

Tidak ada komentar: